Selasa, 08 Februari 2011

MBS PEMBANDING

SUATU KRITIK  (CLAIM) TERHADAP ARTIKEL
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(SCHOOL BASED MANAGEMENT)

DITULIS OLEH :

  Prof. Slamet PH., MA,MEd,MA,MLHR,Ph.D., Tahun 2000

PEMBANDING OLEH :
HENRIE M.

MAHASISWA MAGISTER MANAJEMEN FEB UGM




1. Pendahuluan

Mengkritisi artikel Slamet PH, tentang MBS dapat didekati pada tiga sudut pandang (point of view), yaitu Konsep,Regulasi,Implementasi (performance) MBS  yang secara empiris telah didengungkan sejak undang-undang pendidikan yang terbaru belum dibuat. D.k.l. sebelum UU No. 20 tahun 2003, MBS sebagai pendekatan untuk penjaminan mutu pendidikan dan memperkecil peran pemerintah pusat terhadap manajemen sekolah sudah digulirkan.
Reformasi pendidikan merupakan juga suara-suara yang lahir ketika pemerintahan orde baru yang sentralistik tumbang,  implikasinya euphoria kedaerahan mendapat ruang untuk menjalankan maksud-maksudnya.
Jujur saja sebagai pendidik yang telah mengabdikan diri bagi pendidikan SMA sejak tahun 1984, peningkatan mutu pendidikan belum menunjukkan perbedaan yang signifikan baik manajemennya, kualitas dan komitmen tenaga pendidik dan kependidikan, sistem dan akuntansi finansial pendidikan (Financial Management In The  Public Sector) belum jauh berbeda dengan pola lama. Jadi apa yang direform jika hampir dua dekade reformasi pendidikan masih berjalan ditempat apalagi yang namanya MBS atau yang sejenis ini.
Diseminasi yang parsial dan tidak kontinu serta regulasi pendidikan yang overlapping merupakan penyebab mengapa MBS belum menjangkau sudut-sudut pendidikan apa lagi yang namanya daerah jauh (sub urban), akan lebih menyedihkan lagi.
Dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak desentralisasi pendidikan digulirkan dengan payung hukum MBS a.l.,  UU no. 20 tahun 2003 pasal 1 ay. 6, tentang kualifikasi pendidik dan dosen, pasal 8 dan 54, tentang hak dan kewajiban masyarakat  dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dan evaluasi pendidikan yang semua ini memanifestasi dalam forum MBS seperti penegasan pasal 51 ay. 1, dapat dikatakan implementasi dilapangan relatif masih jauh  panggang daripada api.
Pemikiran , upaya untuk menerapkan MBS (benchmarking  MBS  dinegara-negara berbahasa Inggris), sudah ada sebelum adanya UU yang secara khusus mengatur pelaksanaan MBS seperti yang dikatan oleh Hannaway, 1996, Murphy, 1997 hal 39, Malen, Ogawa, dan Kranz , 1990 hal 1. Kesulitan paling besar strategi pelaksanaan MBS adalah desentralisasi pendidikan diterjemahkan seperti apa, apakah sebagai sistem dekonsentrasi, delegasi, devolusi, atau mengarah ke privatisasi atau jangan-jangan  bauran (mixture) dari semua sistem itu dan kalaupun bauran dari semua sistem itu apa nama sistem yang dimaksud, (Fiske, 1996).

2.  KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH  (SCHOOL BASED
     MANAGEMENT)

Apa yang dikemukakan oleh Slamet PH., artikel MBS dalam jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 27 tahun Ke- 6, November 2000, jika dibandingkan dengan trend MBS di negara-negara yang berbahasa Inggris, dikenal dengan istilah Inisiatif Manajemen Sekolah (Hongkong), Self Governing/grant-maintained (Inggris),  Charter schools (Amerika Serikat) ataupun di Australia khususnya Negara Bagian Victoria The Schools of the Future (sekolah masa depan yang intinya bahwa hasil-hasil mutu pendidikan hanya dapat dijamin ketika pembuatan keputusan terjadi di tingkat lokal.
Memang pendekatan MBS untuk pengelolaan pendidikan di Indonesia merupakan alternatif yang paling mungkin dan sejalan dengan trend pendidikan yang menglobal, jika tidak, kreasi pendidikan akan Undermanaged sebab hanya sekolah yang paling tahu kebutuhannya. (Slamet, 2000 hal 607).
Pada halaman 609, Slamet PH, 2000 mengutip pendapat David, 1989 bahwa MBS dirumuskan = Otonomi manajemen sekolah+ pengambilan keputusan yang partisipatif. Hal ini dilapangan dapat dikatakan lebih indah kata daripada rupa. Sebab sesungguhnya dalam praktek sekolah di Indonesia tidak otonom tetapi masih kental dengan pola instruksi/directly dari Dinas dan Bupati sehingga komponen-komponen sekolah hanyalah mesin pendidikan yang siap memproduksi keinginan dan target Kadis dan Bupati yang tidak paham pendidikan. Jadi sosialisasi apapun walaupun kita tidak terlalu pesimis bahwa pendidikan murah dan gratis tapi ujung-ujung kebijakan pendidikan di daerah tidak steril dari muatan politik demi popularitas dan kepentingan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari isue-isue pendidikan. Sebagai Pendidik profesional, dengan alasan saya alumnus IKIP Negeri Manado 1982, dan sudah malang melintang didunia persekolahan dan mungkin Bupati yang ada termasuk Kadis Pendidikan yang ada belum lahir ketika saya jadi guru, dengan slogan-slogan kampanye pendidikan yang tidak mendidik dan proporsional, tangan kuat Bupati yang nota bene masih muda dan bekas pedagang, yang pegang kalkulator standar SD, mendengung-dengungkan pendidikan bermutu sebenarnya hanya alat retorika yang justru menghancurkan sendi-sendi pendidikan sejati. Kontribusi langsung dari masyarakat tidak terasa lagi maknanya karena stake holderpun tidak tulus lagi memberi supporting pada sekolahnya karena semua sudah disetting dari daerah.
Kemandirian yang diserukan dalam artikel ini, sebenarnya adalah pemasungan daya kreatifitas sekolah karena tumpang tindihnya pemahaman pendidikan dari birokrasi dan disisi lain persepsi tentang pendidikan penuh muatan dan konflik kepentingan.

3.  REGULASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. 

Undang-Undang no. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang no. 20 tahun 2003 khususnya pasal 51 tentang Otonomi Sekolah, Permen Diknas no. 044/U/2002, tentang fungsi-fungsi Komite Sekolah/Dewan Pendidikan Daerah serta Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005, sudah cukup kuat, persoalan sosialisasi terintegrasi pihak kepentingan pendidikan belum match dan masih parsial sehingga multi tafsir sesuai kepentingan dan perspektik tak dapat kita hindari.
Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan seperti pada halaman 612, rentangannya dengan kekinian sangat memprihatinkan dan dapat dikatakan jauh dari idealnya seperti apa yang dikemukakan dalam bukunya Ibtisam Abu, D., 2000, hal 120 dan MBS Dirjen PMPTK Kemendiknas 2010 hal 10 dan 11.
Substansi pergeseran konsep pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi dalam implementasi belum memberi kegunaan yang signifikan jika konsep-konsep ini tidak terdapat kesamaan persepsi antara Pemda, Sekolah dan Stake Holder pendidikan oleh karena itu persoalan ini seharusnya mencuat dalam pembahasan-pembahasan parlemen semua tingkat. Jika tidak dijamin pasti MBS tidak lain hanya baju baru dari BP 3 pada masa orde baru.
Bukti-bukti yang dapat diclaim sebagai penyimpangan dari regulasi/MBS dimana promosi kepemimpinan pendidikan tidak lagi taat asas dan sering yang tampil dalam estafet kepemimpinan pendidikan adalah orang-orang bermasalah dengan sendi-sendi pendidikan dan orang-orang yang menumpang dipendidikan. Jangan heran orang lain menjadi apathy dan masa bodoh tidak lagi tulus dalam profesi pendidik karena performance appraisal  tidak ditegakkan oleh pengambil kebijakan pendidikan.
Dibidang pendanaan (budget pendidikan), disamping tidak cukup, datangnya terlambat dan tidak efisien karena fungsi pengawasan tidak jalan 360 . Karena pendidikan murah dan gratis result dari proses pendidikan seharusnya siapa yang bertanggung jawab. Evidence kekeliruan dari kebijakan pendidikan yang bernyawa desentralisasi, kita sudah sulit menemukan buku-buku referensi dan pengadaan peralatan laboratorium yang lengkap seperti jaman ketika pendidikan dimasa orde baru. Masa kini, merupakan kepahitan karena ditinggalkan masa indah yang lalu.
Produk Ujian Nasional secara substansial sangat memperkosa keadilan pelayanan pendidikan, tidak sepadan dengan eksistensi Total Quality Manajemen/Total Quality Education karena disamping menghambat peningkatan mutu (continuos quality improvement), bertentangan dengan Roh (spirit) dari MBS Seperti yang dikemukakan Oleh Odden dan Busch hal 73 tahun 1998.
Dilapangan kita tidak heran karena konflik kepentingan dan sistem penilaian pendidikan yang tidak komprehensif dan proporsional, terjadi fluktuasi pencapaian hasil UN semua tingkatan pendidikan tergantung sejauhmana derajat intervensi kepentingan pendidikan yang tidak merupakan objek pembahasan dilingkup filsafat pendidikan. Terpaksa kritik ini menyinggung filsafat pendidikan karena banyak guru sudah lupa dan pejabat negara tidak mengerti substansi pendidikan yang seharusnya merupakan amanah untuk anak turun-temurun.

4.  IMPLEMENTASI MBS

A. Tujuan MBS tidak sama dengan persepsi konteks sekolah sebab disamping Leadership Pendidikan yang tidak berkualitas baik kualifikasi dan kompetensi serta pola rekrutmen yang sarat kepentingan, kehadiran kepemimpinan pendidikan sering tidak dikehendaki sehingga menimbulkan sikap resistensi. Kalaupun diteruskan akan ada konflik internal yang mata rantainya berujung pada pelayanan terhadap peserta didik tidak tulus lagi dan hasilnya jauh dari ekspektasi pelangan ekternal (siswa, orangtua,lembaga atau masyarakat).
Pertimbangan Stake Holder sesungguhnya hanya formalitas karena Komite Sekolah juga belum paham betul kewenangannya dan rekomendasi rekrutmen kepala sekolah justru ada pemihakan Komite Sekolah yang tidak profesional karena sentimen-sentimen budaya yang sebenarnya bukan bidang pembahasan pendidikan bermutu.

B. Pengambilan Keputusan (Decision Making), tidak seperti apa yang tulis pada halaman 619, sebab ini menyangkut kualitas leadership sekolah/kepala sekolah yang tidak jelas karirnya dibidang pendidikan dan berbau KKN sehingga tidak efektif membawa kapal pendidikan dan arogansi kepemimpinan menjadikan sulitnya kepala sekolah dijatuhkan karena pengambil kebijakan tidak berbasis sekolah seperti di Australia dan Inggris dimana dewan sekolah dapat memilih dan memecat kepala sekolah yang tidak berkualitas.
Terry (1973 : 132), Newwel, 1978, sekolah sebagai unit organisasi/masyarakat terdiri dari dua dimensi baik Ideografik maupun nomotetik. Dimensi Ideografik dapat saja tidak sejalan dengan kebijakan Bupati pada sekolah yang mandiri yang derajat MBS sudah mengakar sehingga estafet kepemimpinan harus betul-betul berbasis sekolah.
Ketimpangan antara dimensi ideografik dengan dimensi nomotetik sering berujung pada pengambilan keputusan yang alot dan menghasilkan keputusan yang tidak cerdas karena kualitas kepala sekolah yang rendah dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu sekolah
Sementara Permen Diknas no. 162/U/2002 dan Permen Diknas no. 16 tahun 2007 implementasinya tidak serius dan tidak jelas parameternya disamping jaminan karis Kepala Sekolah tidak konsisten karena aspek like and dislike masih memainkan peranan yang cukup signifikan, ditambah lagi pengawasan Profesional tidak berfungsi dengan baik karena kepentingan Birokrasi yang takut kehilangan kue, tentu hasil keputusan pendidikan tidak murni untuk kepentingan peserta didik tapi dapat saja menjadi kendaraan kelompok kepentingan.

C. Tentang penggunaan Analisis SWOT belum banyak dikenal oleh guru dan kelompok masyarakat karena disamping hanya  formalitas  urusan proposal dana hibah/block grant, juga forum MBS yang lemah tambah lagi
pemahaman konsep Analisis SWOT dikalangan kepala sekolah tidak didukung kualitas akademis yang cukup, maka tidak heran telaah kebutuhan sekolah tiba saat tiba akal. Konsep Analisis SWOT untuk semua bidang kehidupan adalah sangat membantu mengenal kebutuhan dan kemungkinan mengatasi kondisi sekolah hanya pelatihan yang komprehensif tidak berjalan merata, hanya bersentuhan dengan elitis pendidikan yang tidak ada good will untuk dengan sungguh-sungguh mewujudkan manfaat MBS disekolah




P  E N U T U P

MBS merupakan suatu sistem desentralisasi bidang pendidikan yang pola dan implementasinya belum menyentuh sustansi MBS yang sejati. Diseminasi dan segala upaya pemasyarakatan MBS adalah sia-sia jika tidak diikuti adanya persamaan persepsi antara pemerintah, masyarakat dan sekolah. Sebab MBS disamping baru, dapat saja merupakan baju baru BP 3 pada masa orde baru karena transformasinya masih berjalan ditempat dan justru sering tidak sejalan dengan agenda politik pencari kekuasaan didaerah yang menjadikan sektor pendidikan untuk  melancarkan tujuan-tujuan yang tidak memihak pemutuan pendidikan.
Regulasi MBS sudah memadai hanya dengan adanya produk-produk aturan daerah yang justru untuk mewujudkan janji politik kepada konstituen, telah menjauhkan pendidikan dari fungsinya dan menjerumuskan pendidikan dalam lingkaran setan kepentingan apalagi jika pemda dan sekolah berada pada dua kutup yang berseberangan.
Akhirnya Leadership Pendidikan yang berkualitas berdampak pada kualitas pengambilan keputusan dibidang pendidikan yang langsung tidak langsung seharusnya penerapan MBS yang sejati bukan merupakan beban manajemen pendidikan justru merupakan wadah demokratisasi pendidikan yang sejalan dengan trend manajemen persekolahan yang mengglobal juga  merupakan agenda nasional dalam perjuangan refomasi disegala bidang kehidupan berbangsa termasuk bidang pendidikan, yang mana tugas mulia ini demi anak turun temurun bangsa Indonesia yang besar.






1 komentar:

  1. Terimakasih Pak.....Banyak manfaatnya. Sebagai komparatif tugas2. silahkan berkunjung ke lapak saya sarastiana.com

    BalasHapus