Minggu, 13 Februari 2011

Transformasi Fungsi Komite Sekolah Dalam Pengawasan dan Pembangunan Sarana Sekolah

CAHYO WIRAWAN

LATAR BELAKANG
Tuntutan dunia pendidikan dewasa ini semakin meningkat. Tidak hanya peningkatan output atau lulusan semata, tetapi juga kesempurnaan pelayanan dalam Proses Belajar di kelas, fasilitas, sarana serta hubungan yang lebih berkualitas antara pihak sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari stakeholder sekolah. Berbagai strategi dicoba untuk diaplikasikan di sekolah termasuk konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM).
MBS merupakan paradigma baru manajemen pendidikan yang memberikan otonomi luas kepada sekolah untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. School-based Management is the decentralization of authority from the central government to the school level (Caldwell 2005). Lebih lanjut , Malen, Ogawa and Kranz (1990) mengatakan, “School-based management can be viewed conceptually as a formal alteration of governance structures, as a form of decentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribution of decision-making authority as the primary means through which improvement might be stimulated and sustained” (p. 290). Dengan penerapan MBS ini diharapkan reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kelangsungan kehidupan mereka sesuai potensi, tuntutan dan kebutuhannya dapat terwujud. Visi, misi serta tujuan sekolah dapat dirancang secara mandiri dengan mempertimbangkan prioritas, program serta pemberdayaan berbagai potensi sekolah.
 Dalam konsep MBS, lembaga yang mempunyai peran strategis adalah Komite Sekolah. Lembaga ini merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah oleh Dewan Pendidikan, Sekolah serta Dinas Pendidikan setempat dan beranggotakan wali murid, masyarakat sekitar sekolah serta perwakilan dari pemerintah.(Mulyasa 2003). Menetapkan  rancangan program sekolah dan segala kebijakannya adalah tugas Sekolah, Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Sinergi Komite sekolah, Dewan Pendidikan serta peran serta masyarakat sekitar sekolah adalah kunci utama keberhasilan untuk meningkatkan kualitas sekolah tersebut secara mandiri. Disamping tugas tersebut, fungsi dan peran Komite Sekolah yang ideal antara lain:
•             Monitor aktivitas/kegiatan sekolah secara umum termasuk kinerja guru dan prestasi siswa.
•             Mengumpulkan dana serta bantuan untuk sekolah.
•             Memilih dan ikut mempertimbangkan guru-guru yang mempunyai kelayakan untuk mengajar di sekolah.
•             Membuat Rencana Program Sekolah termasuk pendanaannya sekaligus mengawasi penggunaannya.
(Felipe Barrera-Osorio, Tazeen Fasih and Harry Anthony Patrinos; with Lucrie Santibanez, 2009)
                Peran dan fungsi yang strategis dari Komite sekolah ini diharapkan dapat mendukung secara penuh program-program yang telah disusun dan disepakati bersama termasuk dalam pengembangan sarana/prasarana sekolah. Penambahan sarana termasuk pemeliharaan sekolah adalah juga bagian dari tanggung jawab komite sekolah. Pada kenyataannya, terjadi banyak kerusakan gedung atau  pembangunan sarana fisik sekolah luput dari perhatian dan pantauan komite sekolah. Seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia dan menjadi berita di berbagai media nasional.(Lihat Lampiran).
B.            ANALISIS PERMASALAHAN
Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terorganisir dan terdiri atas komponen-komponen yang saling  mempengaruhi dan terkait. Komponen utama sekolah adalah siswa, guru, tenaga kependidikan, kurikulum serta fasilitas pendidikan. Pemangku kepentingan juga mempunyai andil dan pengaruh yang besar terhadap proses penyelenggaraan, mutu lulusan (output) dan kelangsungan lembaga sekolah. Orang tua siswa dan masyarakat sekitar sekolah adalah bagian dari Pemangku Kepentingan (stakeholder) yang harus bersinergi dengan sekolah untuk mencapai cita-cita/tujuan bersama. (Pemberdayaan Komite Sekolah, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006). Dalam Renstra Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 telah ditetapkan tonggak kunci keberhasilan pembangunan pendidikan (key milestones), yang antara lain menetapkan bahwa (1) 50% Dewan Pendidikan telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009, (2) 50%  Komite Sekolah telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009. (Renstra Departemen Pendidikan Nasional, 2005).
                Keberadaan komite sekolah yang sangat strategis dan penting diharapkan mampu mendorong proses optimalisasi peranan masyarakat dalam ikut membantu meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut, komite sekolah mempunyai peran antara lain:
a)            Sebagai lembaga pemberi pertimbangan (advisory agency)
b)            Sebagai lembaga pendukung (supporting agency)
c)            Sebagai lembaga pengontrol (controlling agency)
d)            Sebagai lembaga mediator (mediator agency)
(Pemberdayaan Komite Sekolah, DirektoratJenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006)
Sebuah Komite Sekolah dapat menjalankan roda organisasinya melalui berbagai kegiatan yang langsung dapat menyentuh substansi peningkatan mutu pendidikan.
Kegiatan-kegiatan yang dapat disusun berdasarkan masalah-masalah nyata serta memperhatikan skala prioritas. Dalam kenyataannya, di banyak daerah di Indonesia peran komite sekolah belum maksimal dan berfungsi terutama dalam fungsi sebagai controlling agent.  Ketua Komisi D (Kesra) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), Anwar menilai banyak komite sekolah yang telah dibentuk tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak berfungsinya komite sekolah bisa dilihat dengan tidak diikutsertakannya komite sekolah dalam penyusunan anggaran di suatu sekolah, padahal tugas dan fungsi komite sekolah adalah untuk mengawasi semua anggaran yang ada di sekolah, katanya, di Pontianak. ( Republika , 13 September 2007). Selain fungsi pengawasan yang masih mandul, anggota Komite Sekolah sendiri pun masih banyak yang belum mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya. Mereka bahkan tidak mengerti bahwa pengawasan proses belajar di kelas juga adalah salah satu tugas Komite Sekolah. Sejumlah orang tua siswa yang anaknya bersekolah di SD, SMP, dan SMA/SMK di Kota Bandar Lampung mengharapkan, keberadaan Komite Sekolah tidak hanya mengurusi pengelolaan dana atau pungutan uang dari wali murid. Beberapa orang tua siswa di SDN 1 Sukarame di Bandar Lampung, Sabtu (28/7), di sela rapat Komite Sekolah setempat, minta agar pengurus Komite Sekolah itu juga dapat mengawasi pengelolaan dana maupun mengontrol proses belajar (Media Indonesia, 28 Juli 2007). Controlling yang lemah terhadap sekolah terjadi juga pada kegiatan pengembangan fisik serta pemeliharaan sekolah. Dalam banyak kasus, rusaknya sarana sekolah serta rendahnya mutu bangunan  di sebuah sekolah juga akibat lemahnya fungsi pengawasan dari pihak Komite Sekolah. Mengenaskan. Begitulah dunia pendidikan kita. Bukan cuma kualitas pendidikan yang mengenaskan, tapi juga infrastruktur bangunan. Sudah ratusan sekolah roboh di negeri ini.Terakhir dua hari silam, sebuah sekolah dasar roboh. Bukan di pinggiran kota, bukan pula di pelosok, tapi di Bandung. Sekali lagi Bandung, sebuah kota metropolitan yang sarat dengan orang-orang pintar. Robohnya sekolah yang melukai puluhan siswa dan guru itu juga bukan yang pertama di ibu kota Jawa Barat itu. Pada Maret ini saja tercatat ada empat sekolah roboh. Entah ada berapa belas atau berapa puluh sekolah lagi yang terancam ambruk. Sekolah roboh juga bukan monopoli Bandung. Hampir di seluruh wilayah di Indonesia, sekolah roboh selalu terjadi. Di Pandeglang, Tangerang, Jakarta, Semarang, Medan, Bekasi, semua ada sekolah yang ambruk. Jangan salah, tidak semua sekolah yang ambruk itu bangunan lama. Ada satu sekolah yang baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono enam bulan sebelumnya ambruk. Peristiwa terakhir di Bandung itu adalah sekolah yang baru selesai dibangun Desember lalu.
Kondisi tersebut mencerminkan bahwa kepedulian pemerintah daerah, entah itu pemerintah pusat maupun daerah serta Komite Sekolah, masih rendah terhadap dunia pendidikan. Jangankan terhadap materi pelajaran, terhadap nyawa anak sekolah pun abai. Robohnya sekolah, apalagi jika itu bangunan baru, bisa dipastikan menunjukkan ketidakberesan dalam infrastruktur bangunan.  Pemerintah , terlebih lagi para pemangku kebijakan termasuk Komite Sekolah perlu memberikan perhatian lebih serius tentang masalah ini. Jangan hanya ribut ketika ada sekolah ambruk dan koran-koran memberitakan. (Republika, 29 Maret 2008).
                Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut dan harus segera dicari akar persoalannya. Komite Sekolah di berbagai daerah telah terbentuk hampir lebih dari 200 ribu satuan pendidikan dari tingkat SD/MI sampai SMA/MA sejak adanya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tentang pembentukan Komite Sekolah. Namun demikian , pembentukan Komite Sekolah tersebut tidak atau belum mengikuti prinsip pembentukan Komite Sekolah sesuai mekanisme yang sudah baku. (Pemberdayaan Komite Sekolah, DirektoratJenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006). Prosedur pembentukan Komite Sekolah setidaknya harus mengikuti 7 langkah pokok yakni:
1.            Sosialisasi Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002. Serta lampirannya.
2.            Penyusunan criteria dan identifikasi calon anggota.
3.            Seleksi bakal calon anggota.
4.            Pengumuman bakal calon anggota.
5.            Penyusunan nama-nama calon anggota untuk ikut pemilihan.
6.            Pemilihan anggota Komite Sekolah oleh masyarakat.
7.            Penyampaian nama-nama pimpinan dan anggota Komite Sekolah kepada  kepala satuan pendidikan untuk mendapatkan SK kepala satuan pendidikan.
Pembentukan Komite sekolah seringkali tidak mengikuti prosedur baku di atas, bahkan sering terjadi Komite Sekolah ditunjuk langsung oleh Kepala Satuan Pendidikan dengan mengabaikan aspek kredibilitas, kualitas, kompetensi dan integritas calon. Hasilnya, peran Komite Sekolah menjadi tidak optimal, kerdil dan lemah dari sisi keefektifan lembaga. Disamping faktor rekruitmen anggota Komite Sekolah, peran anggota Komite Sekolah juga terbatas , berbeda dengan pola MBS di Negara maju. By international standards, the Indonesian BOS program is limited from of SBM , particularly compared with programs in Latin America. The Indonesian SBM under the BOS program does not permit committees to hire or fire teachers or even to have any control over capital expenditures. (Felipe Barrera-Osorio, Tazeen Fasih and Harry Anthony Patrinos; with Lucrie Santibanez, 2009). Komite Sekolah diposisikan hanya mempunyai peran dan wewenang yang sangat terbatas yakni membuat rencana program, melaksanakan kegiatan dan pengawasannya. Dan semua kegiatan tersebut didanai dari BOS, sehingga Komite Sekolah merasa tidak punya kapasitas serta wewenang seandainya sekolah membangun gedung/sarana yang sumber dananya bukan dari dana BOS. Persepsi inilah yang harus segera diluruskan dan dirubah dengan menerapkan ketentuan, aturan dan perundangan yang menjadi payung hukum bagi komite sekolah dalam melaksanakan tugas kepengawasan.
C.            SOLUSI DAN SIMPULAN
Pemerintah , masyarakat dan dunia pendidikan harus segera mengambil langkah taktis agar persoalan tentang fungsi, peran dan kontribusi Komite Sekolah di sekolah segera mendapatkan solusi yang tepat. Komite Sekolah sebagai bagian dari lembaga, tentu harus mempunyai target dan kerangka kerja yang sistematis agar kiprahnya dapat bermanfaat dan berdaya guna bagi dunia pendidikan. Langkah strategis yang harus ditempuh Komite Sekolah adalah menyusun program kerja dengan mempertimbangkan skala prioritas dan identifikasi masalah. Identifikasi masalah dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1.            Melakukan identifikasi faktor-faktor penyebab masalah.
2.            Membuat daftar alternatif kemungkinan pemecahan masalah.
3.            Memilih alternatif terbaik berdasarkan kesepakatan bersama.
4.            Membuat perencanaan untuk pemecahan masalah.
Selain membuat program yang jelas, Komite Sekolah diharapkan juga membangun hubungan kemitraan dengan berbagai pihak untuk memperkuat sinergi agar keterbatasan sumber daya baik di lingkungan pemerintah dan sekolah dapat diatasi bersama dan menumbuhkan kebersamaan untuk mencapai tujuan yang sama. Agar kemitraan ini dapat berjalan dengan lancar, maka penerapan kemitraan harus mengikuti prinsip-prinsip dasar berikut yang selanjutnya disebut sebagai prinsip PACTS atau PACTS principles  yang terdiri dari :
1.            Participation , semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapat, memutuskan hal-hal penting dan bertanggung jawab atas semua keputusan yang disepakati.
2.            Acceptable, kehadiran tiap pihak harus diterima oleh pihak lain dengan prinsip kesetaraan.
3.            Communication, setiap pihak harus mampu dan mau mengkomunikasikan dirinya serta rencana kerjanya sehingga dapat dilakukan koordinasi dan sinergi.
4.            Trust/Transparent, semua pihak harus dapat dipercaya dan saling mempercayai serta saling terbuka dalam kesetaraan.
5.            Share, semua pihak harus mampu membagikan semua kelebihan dan kompetensi dirinya untuk tujuan bersama.
Tingkat Pembangunan
Partisipatif
Tahapan Proyek/Pembangunan Sarana
Swadaya
Manajemen oleh Masyarakat
Prakarsa & gagasan
Perencanaan
Pelaksanaan
Pemeliharaan
Komite sekolah dan masyarakat memprakarsai dan melakukan sendiri.
Komite Sekolah merancang sendiri.
Komite sekolah dan masyarakat melaksanakan sendiri.
Komite Sekolah dan msyarakat memelihara sendiri.
Kemitraan
Berbagi kerja & pengambilan keputusan
Komite sekolah dan masyarakat memprakarsai pekerjaan bersama
Komite Sekolah dan masyarakat merancang bersama
Komite Sekolah dan masyarakat melaksanakan bersama.
Komite sekolah dan masyarakat memelihara bersama.
Konsultasi
Menanyakan pendapat masyarakat
Sekolah memprakarsai setelah konsultasi dengan msyarakat
Sekolah merancang dgn konsultasi ke masyarakat
Sekolah melaksanakan dengan konsultasi ke masyarakat.
Sekolah memelihara dengan konsultasi ke masyarakat.
Informasi
Satu arah, keputusan &pelaksanaan oleh sekolah
Sekolah memprakarsai pekerjaan
Sekolah merancang sendiri
Sekolah melaksanakan sendiri
Sekolah memelihara sendiri


(Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008)
Prosedur dan langkah-langkah di atas harus dilaksanakan secara bersungguh sungguh oleh pihak sekolah, Komite Sekolah dan pemerintah serta masyarakat sekitar sekolah. Meskipun payung hukum keberadaan Komite Sekolah telah diwujudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, aturan kewenangan Komite Sekolah perlu direvisi kembali agar anggota Komite Sekolah benar-benar mengerti fungsi/perannya dan dapat secara legal terlibat penuh dalam kebijakan-kebijakan yang diambil pihak sekolah. Apapun kebijakan sekolah termasuk pembangunan sarana/prasarana, pemeliharaan sekolah, bahkan rekruitmen tenaga pendidik, selama hal tersebut dapat secara langsung mempengaruhi kualitas pelayanan siswa, maka Komite Sekolah wajib terlibat. Komite Sekolah sebagai agen utama dalam MBS dan merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat tentu harus berbenah diri untuk meningkatkan peran partisipatifnya di sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah atau (SBM) transfer authority from central government to school level, devolving responsibility for and decision-making authority over school operations to local agents---any combination of principals, teachers, parents, sometimes students, and other school community members. (Felipe Barrera-Osorio, Tazeen Fasih and Harry Anthony Patrinos; with Lucrie Santibanez, 2009).
Dengan demikian , lembaga Komite Sekolah sebagai satu organisasi masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah dapat diwujudkan. Bukan sebagai lembaga pelengkap dalam organisasi di sekolah yang tidak punya arti serta tunduk kepada kepentingan pribadi.

Rabu, 09 Februari 2011

TUNTUTAN PENGAWAS DALAM PENJAMINAN MUTU


TUNTUTAN –TUNTUTAN BARU KEPENGAWASAN SEKOLAH DALAM ERA
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Mencermati Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 66, yang mengatur tentang kepengawasan pendidikan semua jenjang dan jenis sekolah dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pengawasan dilakukan dengan prinsip transparansi, dan akuntabilitas publik. Kemudian pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 39, Pengawas Sekolah sebagai Tenaga Kependidikan melaksanakan pengawasan pada satuan pendidikan. Pengawasan Pendidikan dilaksanakan oleh tenaga fungsional yang ada pada Dinas Pendidikan sejalan dengan Permen Diknas No. 12 Tahun 2007, dimana Kompetensi dan Kualifikasi Pengawas lebih unggul dari Kompetensi dan Kualitas Kepala Sekolah dan Guru. Dari 36 Kompetensi inti yang dimiliki Pengawas Pendidikan dan dijabarkan menjadi 180 indikator kompetensi Pengawas Pendidikan merupakan taruhan yang tidak main-main bila dibandingkan dengan tugas rutin Kepala Sekolah atau Guru. Pengalaman dan Kualifikasi umumnya pengawas pendidikan, haruslah menjadi pertimbangan bahwa jabatan pengawas pendidikan harus mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari Pemerintah/Kepala Dinas dalam rangka menjalankan fungsi supervisi pendidikan, mengawasi, mengevaluasi, memberi bimbingan dan pembinaan kepada satuan/program pendidikan sesuai kewenangannya dalam penjaminan mutu pendidikan.
Mengutip tulisan Nana S., 2010, hal. i, Pengawas Sekolah bertugas melaksanakan pengawasan akademik dan pengawasan manajerial disekolah yang ditunjuk melalui pemantauan, penilaian, dan pembinaan serta laporan dan tindak lanjut. Beratnya tanggung jawab dan begitu kompleksnya tugas pokok dan fungsi pengawas pendidikan, dan keunggulan kompetensi yang dimiliki pengawas sekolah, merupakan pengakuan dan penghargaan yang tinggi dari pemerintah terhadap jabatan pengawas sekolah. Oleh sebab itu pengawas sekolah perlu diberdayakan bukan dibuat tidak berdaya, pengawas sekolah harus dipikirkan bukan dipinggirkan, pengawas sekolah perlu dibina dan dikembangkan bukan dibinasakan. Adalah keliru apabila memandang pengawas sekolah sebagai tenaga pelengkap dalam struktur tenaga kependidikan terlebih dalam era peningkatan mutu pendidikan nasional. Oleh sebab itu Kepala Dinas Pendidikan perlu membina, mengembangkan dan memberdayakan peran dan fungsi pengawas sekolah sebagai penjamin mutu pendidikan.
Kepala Dinas yang membiarkan pengawas sekolah tak berfungsi, berarti ia tidak memahami dan tidak memiliki komitmen terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Sebagai konsekwensi logis desentralisasi pendidikan yang masih mencarikan bentuknya apalagi penerapan manajemen berbasis sekolah, pengawas pendidikan harus adaptable dan sinergis dengan gerakan partisipatif pengambilan keputusan pendidikan pada semua jenjang, apalagi paradigma dan teori supervisi bergeser dari pola Control/Directive ke pola Collegiality  (Gordon, 1997, p. 118).
Pendekatan supervisi yang sifatnya membantu (help), memberi bantuan profesional kepada Kepala Sekolah dan Guru dan membangun komunikasi yang efektif dengan komponen-komponen sekolah (MBS) bukan tidak mudah mengikis image pendidikan atas ulah pengawas sekolah selama ini yang menyimpang dari tupoksi sejatinya yang membuat jabatan ini tidak menarik dan dilirik oleh umumnya tenaga pendidik yang profesional.
Diera persaingan sehat disegala bidang (competitive advantage), sosok pengawas sekolah yang profesional sangat ditunggu-tunggu kehadirannya untuk menggerakkan potensi-potensi pendukung peningkatan mutu pendidikan yang selama ini belum diexplorer (Tacit Knowledge/Explicit Knowledge) dengan efektif, merupakan tantangan bagi seorang pengawas profesional.
Kualifikasi pendidikan Strata 2 (post graduate), bukanlah jaminan keberhasilan tugas supervisi baik akademik maupun manajerial, tetapi mengadaptasi kecenderungan pola, teori dan sistem yang berkaitan dengan supervisi/pengawasan pendidikan dan sekolah, merupakan keharusan bagi seorang pengawas pendidikan jika tidak mau dikatakan daluwarsa. Jargon-jargon kualitas pendidikan dan pendidikan gratis jika tidak menyentuh subtansi pendidikan yang hakiki, merupakan kesalahan besar dari bangsa  yang bermartabat ini karena pendidikan gratis atau murah sama saja membangun rumah dengan bahan-bahan murah juga. Adalah menjadi refleksi Pemerintah Daerah untuk tidak melakukan pemasungan issue-issue pendidikan untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang tidak mendidik. Trend Total Quality  Management menuntut provider jasa pendidikan menata physical evidence/servicescape mendukung pencapaian kualitas out come berkualitas dan kompetitif disamping sumber daya manusia dan pendanaan yang memadai lembaga pendidikan tersebut.
Sumber dana negara tidak dapat kita harapkan tanpa supporting masyarakat dan dunia usaha (MBS), maka kendala pemutuan tidak dapat kita hindari dan dapat kita perkirakan sejauhmana produk didik sekolah Indonesia.  
Yang tidak kalah santer dibicarakan adanya fenomena Sekolah Standar Nasional atau Standar Internasional, semua jenjang dimana parameternyayang kurang tegas apakah tarifnya  yang tinggi atau kualitas, dan ini harus dijawab pengawas pendidikan yang nota bene keterlibatan pengawas pendidikan  cukup signifikan dalam pengawasan sekolah-sekolah berstandar. Alhasil secara profesional pengelolaan sekolah standar termasuk sekolah yang kurikulumnya dieskalasi menjadi diskusi hangat dikalangan akademisi tidak lepas disela-sela perkuliahan Kelas Diknas Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Yogyakarta.

Selasa, 08 Februari 2011

MBS PEMBANDING

SUATU KRITIK  (CLAIM) TERHADAP ARTIKEL
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(SCHOOL BASED MANAGEMENT)

DITULIS OLEH :

  Prof. Slamet PH., MA,MEd,MA,MLHR,Ph.D., Tahun 2000

PEMBANDING OLEH :
HENRIE M.

MAHASISWA MAGISTER MANAJEMEN FEB UGM




1. Pendahuluan

Mengkritisi artikel Slamet PH, tentang MBS dapat didekati pada tiga sudut pandang (point of view), yaitu Konsep,Regulasi,Implementasi (performance) MBS  yang secara empiris telah didengungkan sejak undang-undang pendidikan yang terbaru belum dibuat. D.k.l. sebelum UU No. 20 tahun 2003, MBS sebagai pendekatan untuk penjaminan mutu pendidikan dan memperkecil peran pemerintah pusat terhadap manajemen sekolah sudah digulirkan.
Reformasi pendidikan merupakan juga suara-suara yang lahir ketika pemerintahan orde baru yang sentralistik tumbang,  implikasinya euphoria kedaerahan mendapat ruang untuk menjalankan maksud-maksudnya.
Jujur saja sebagai pendidik yang telah mengabdikan diri bagi pendidikan SMA sejak tahun 1984, peningkatan mutu pendidikan belum menunjukkan perbedaan yang signifikan baik manajemennya, kualitas dan komitmen tenaga pendidik dan kependidikan, sistem dan akuntansi finansial pendidikan (Financial Management In The  Public Sector) belum jauh berbeda dengan pola lama. Jadi apa yang direform jika hampir dua dekade reformasi pendidikan masih berjalan ditempat apalagi yang namanya MBS atau yang sejenis ini.
Diseminasi yang parsial dan tidak kontinu serta regulasi pendidikan yang overlapping merupakan penyebab mengapa MBS belum menjangkau sudut-sudut pendidikan apa lagi yang namanya daerah jauh (sub urban), akan lebih menyedihkan lagi.
Dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak desentralisasi pendidikan digulirkan dengan payung hukum MBS a.l.,  UU no. 20 tahun 2003 pasal 1 ay. 6, tentang kualifikasi pendidik dan dosen, pasal 8 dan 54, tentang hak dan kewajiban masyarakat  dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dan evaluasi pendidikan yang semua ini memanifestasi dalam forum MBS seperti penegasan pasal 51 ay. 1, dapat dikatakan implementasi dilapangan relatif masih jauh  panggang daripada api.
Pemikiran , upaya untuk menerapkan MBS (benchmarking  MBS  dinegara-negara berbahasa Inggris), sudah ada sebelum adanya UU yang secara khusus mengatur pelaksanaan MBS seperti yang dikatan oleh Hannaway, 1996, Murphy, 1997 hal 39, Malen, Ogawa, dan Kranz , 1990 hal 1. Kesulitan paling besar strategi pelaksanaan MBS adalah desentralisasi pendidikan diterjemahkan seperti apa, apakah sebagai sistem dekonsentrasi, delegasi, devolusi, atau mengarah ke privatisasi atau jangan-jangan  bauran (mixture) dari semua sistem itu dan kalaupun bauran dari semua sistem itu apa nama sistem yang dimaksud, (Fiske, 1996).

2.  KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH  (SCHOOL BASED
     MANAGEMENT)

Apa yang dikemukakan oleh Slamet PH., artikel MBS dalam jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no. 27 tahun Ke- 6, November 2000, jika dibandingkan dengan trend MBS di negara-negara yang berbahasa Inggris, dikenal dengan istilah Inisiatif Manajemen Sekolah (Hongkong), Self Governing/grant-maintained (Inggris),  Charter schools (Amerika Serikat) ataupun di Australia khususnya Negara Bagian Victoria The Schools of the Future (sekolah masa depan yang intinya bahwa hasil-hasil mutu pendidikan hanya dapat dijamin ketika pembuatan keputusan terjadi di tingkat lokal.
Memang pendekatan MBS untuk pengelolaan pendidikan di Indonesia merupakan alternatif yang paling mungkin dan sejalan dengan trend pendidikan yang menglobal, jika tidak, kreasi pendidikan akan Undermanaged sebab hanya sekolah yang paling tahu kebutuhannya. (Slamet, 2000 hal 607).
Pada halaman 609, Slamet PH, 2000 mengutip pendapat David, 1989 bahwa MBS dirumuskan = Otonomi manajemen sekolah+ pengambilan keputusan yang partisipatif. Hal ini dilapangan dapat dikatakan lebih indah kata daripada rupa. Sebab sesungguhnya dalam praktek sekolah di Indonesia tidak otonom tetapi masih kental dengan pola instruksi/directly dari Dinas dan Bupati sehingga komponen-komponen sekolah hanyalah mesin pendidikan yang siap memproduksi keinginan dan target Kadis dan Bupati yang tidak paham pendidikan. Jadi sosialisasi apapun walaupun kita tidak terlalu pesimis bahwa pendidikan murah dan gratis tapi ujung-ujung kebijakan pendidikan di daerah tidak steril dari muatan politik demi popularitas dan kepentingan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari isue-isue pendidikan. Sebagai Pendidik profesional, dengan alasan saya alumnus IKIP Negeri Manado 1982, dan sudah malang melintang didunia persekolahan dan mungkin Bupati yang ada termasuk Kadis Pendidikan yang ada belum lahir ketika saya jadi guru, dengan slogan-slogan kampanye pendidikan yang tidak mendidik dan proporsional, tangan kuat Bupati yang nota bene masih muda dan bekas pedagang, yang pegang kalkulator standar SD, mendengung-dengungkan pendidikan bermutu sebenarnya hanya alat retorika yang justru menghancurkan sendi-sendi pendidikan sejati. Kontribusi langsung dari masyarakat tidak terasa lagi maknanya karena stake holderpun tidak tulus lagi memberi supporting pada sekolahnya karena semua sudah disetting dari daerah.
Kemandirian yang diserukan dalam artikel ini, sebenarnya adalah pemasungan daya kreatifitas sekolah karena tumpang tindihnya pemahaman pendidikan dari birokrasi dan disisi lain persepsi tentang pendidikan penuh muatan dan konflik kepentingan.

3.  REGULASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. 

Undang-Undang no. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang no. 20 tahun 2003 khususnya pasal 51 tentang Otonomi Sekolah, Permen Diknas no. 044/U/2002, tentang fungsi-fungsi Komite Sekolah/Dewan Pendidikan Daerah serta Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005, sudah cukup kuat, persoalan sosialisasi terintegrasi pihak kepentingan pendidikan belum match dan masih parsial sehingga multi tafsir sesuai kepentingan dan perspektik tak dapat kita hindari.
Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan seperti pada halaman 612, rentangannya dengan kekinian sangat memprihatinkan dan dapat dikatakan jauh dari idealnya seperti apa yang dikemukakan dalam bukunya Ibtisam Abu, D., 2000, hal 120 dan MBS Dirjen PMPTK Kemendiknas 2010 hal 10 dan 11.
Substansi pergeseran konsep pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi dalam implementasi belum memberi kegunaan yang signifikan jika konsep-konsep ini tidak terdapat kesamaan persepsi antara Pemda, Sekolah dan Stake Holder pendidikan oleh karena itu persoalan ini seharusnya mencuat dalam pembahasan-pembahasan parlemen semua tingkat. Jika tidak dijamin pasti MBS tidak lain hanya baju baru dari BP 3 pada masa orde baru.
Bukti-bukti yang dapat diclaim sebagai penyimpangan dari regulasi/MBS dimana promosi kepemimpinan pendidikan tidak lagi taat asas dan sering yang tampil dalam estafet kepemimpinan pendidikan adalah orang-orang bermasalah dengan sendi-sendi pendidikan dan orang-orang yang menumpang dipendidikan. Jangan heran orang lain menjadi apathy dan masa bodoh tidak lagi tulus dalam profesi pendidik karena performance appraisal  tidak ditegakkan oleh pengambil kebijakan pendidikan.
Dibidang pendanaan (budget pendidikan), disamping tidak cukup, datangnya terlambat dan tidak efisien karena fungsi pengawasan tidak jalan 360 á´¼. Karena pendidikan murah dan gratis result dari proses pendidikan seharusnya siapa yang bertanggung jawab. Evidence kekeliruan dari kebijakan pendidikan yang bernyawa desentralisasi, kita sudah sulit menemukan buku-buku referensi dan pengadaan peralatan laboratorium yang lengkap seperti jaman ketika pendidikan dimasa orde baru. Masa kini, merupakan kepahitan karena ditinggalkan masa indah yang lalu.
Produk Ujian Nasional secara substansial sangat memperkosa keadilan pelayanan pendidikan, tidak sepadan dengan eksistensi Total Quality Manajemen/Total Quality Education karena disamping menghambat peningkatan mutu (continuos quality improvement), bertentangan dengan Roh (spirit) dari MBS Seperti yang dikemukakan Oleh Odden dan Busch hal 73 tahun 1998.
Dilapangan kita tidak heran karena konflik kepentingan dan sistem penilaian pendidikan yang tidak komprehensif dan proporsional, terjadi fluktuasi pencapaian hasil UN semua tingkatan pendidikan tergantung sejauhmana derajat intervensi kepentingan pendidikan yang tidak merupakan objek pembahasan dilingkup filsafat pendidikan. Terpaksa kritik ini menyinggung filsafat pendidikan karena banyak guru sudah lupa dan pejabat negara tidak mengerti substansi pendidikan yang seharusnya merupakan amanah untuk anak turun-temurun.

4.  IMPLEMENTASI MBS

A. Tujuan MBS tidak sama dengan persepsi konteks sekolah sebab disamping Leadership Pendidikan yang tidak berkualitas baik kualifikasi dan kompetensi serta pola rekrutmen yang sarat kepentingan, kehadiran kepemimpinan pendidikan sering tidak dikehendaki sehingga menimbulkan sikap resistensi. Kalaupun diteruskan akan ada konflik internal yang mata rantainya berujung pada pelayanan terhadap peserta didik tidak tulus lagi dan hasilnya jauh dari ekspektasi pelangan ekternal (siswa, orangtua,lembaga atau masyarakat).
Pertimbangan Stake Holder sesungguhnya hanya formalitas karena Komite Sekolah juga belum paham betul kewenangannya dan rekomendasi rekrutmen kepala sekolah justru ada pemihakan Komite Sekolah yang tidak profesional karena sentimen-sentimen budaya yang sebenarnya bukan bidang pembahasan pendidikan bermutu.

B. Pengambilan Keputusan (Decision Making), tidak seperti apa yang tulis pada halaman 619, sebab ini menyangkut kualitas leadership sekolah/kepala sekolah yang tidak jelas karirnya dibidang pendidikan dan berbau KKN sehingga tidak efektif membawa kapal pendidikan dan arogansi kepemimpinan menjadikan sulitnya kepala sekolah dijatuhkan karena pengambil kebijakan tidak berbasis sekolah seperti di Australia dan Inggris dimana dewan sekolah dapat memilih dan memecat kepala sekolah yang tidak berkualitas.
Terry (1973 : 132), Newwel, 1978, sekolah sebagai unit organisasi/masyarakat terdiri dari dua dimensi baik Ideografik maupun nomotetik. Dimensi Ideografik dapat saja tidak sejalan dengan kebijakan Bupati pada sekolah yang mandiri yang derajat MBS sudah mengakar sehingga estafet kepemimpinan harus betul-betul berbasis sekolah.
Ketimpangan antara dimensi ideografik dengan dimensi nomotetik sering berujung pada pengambilan keputusan yang alot dan menghasilkan keputusan yang tidak cerdas karena kualitas kepala sekolah yang rendah dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu sekolah
Sementara Permen Diknas no. 162/U/2002 dan Permen Diknas no. 16 tahun 2007 implementasinya tidak serius dan tidak jelas parameternya disamping jaminan karis Kepala Sekolah tidak konsisten karena aspek like and dislike masih memainkan peranan yang cukup signifikan, ditambah lagi pengawasan Profesional tidak berfungsi dengan baik karena kepentingan Birokrasi yang takut kehilangan kue, tentu hasil keputusan pendidikan tidak murni untuk kepentingan peserta didik tapi dapat saja menjadi kendaraan kelompok kepentingan.

C. Tentang penggunaan Analisis SWOT belum banyak dikenal oleh guru dan kelompok masyarakat karena disamping hanya  formalitas  urusan proposal dana hibah/block grant, juga forum MBS yang lemah tambah lagi
pemahaman konsep Analisis SWOT dikalangan kepala sekolah tidak didukung kualitas akademis yang cukup, maka tidak heran telaah kebutuhan sekolah tiba saat tiba akal. Konsep Analisis SWOT untuk semua bidang kehidupan adalah sangat membantu mengenal kebutuhan dan kemungkinan mengatasi kondisi sekolah hanya pelatihan yang komprehensif tidak berjalan merata, hanya bersentuhan dengan elitis pendidikan yang tidak ada good will untuk dengan sungguh-sungguh mewujudkan manfaat MBS disekolah




P  E N U T U P

MBS merupakan suatu sistem desentralisasi bidang pendidikan yang pola dan implementasinya belum menyentuh sustansi MBS yang sejati. Diseminasi dan segala upaya pemasyarakatan MBS adalah sia-sia jika tidak diikuti adanya persamaan persepsi antara pemerintah, masyarakat dan sekolah. Sebab MBS disamping baru, dapat saja merupakan baju baru BP 3 pada masa orde baru karena transformasinya masih berjalan ditempat dan justru sering tidak sejalan dengan agenda politik pencari kekuasaan didaerah yang menjadikan sektor pendidikan untuk  melancarkan tujuan-tujuan yang tidak memihak pemutuan pendidikan.
Regulasi MBS sudah memadai hanya dengan adanya produk-produk aturan daerah yang justru untuk mewujudkan janji politik kepada konstituen, telah menjauhkan pendidikan dari fungsinya dan menjerumuskan pendidikan dalam lingkaran setan kepentingan apalagi jika pemda dan sekolah berada pada dua kutup yang berseberangan.
Akhirnya Leadership Pendidikan yang berkualitas berdampak pada kualitas pengambilan keputusan dibidang pendidikan yang langsung tidak langsung seharusnya penerapan MBS yang sejati bukan merupakan beban manajemen pendidikan justru merupakan wadah demokratisasi pendidikan yang sejalan dengan trend manajemen persekolahan yang mengglobal juga  merupakan agenda nasional dalam perjuangan refomasi disegala bidang kehidupan berbangsa termasuk bidang pendidikan, yang mana tugas mulia ini demi anak turun temurun bangsa Indonesia yang besar.






Jumat, 04 Februari 2011

ArtikelQ

OPEN ENDED QUESTION DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELATIH GURU DAN SISWA BERPIKIR KREATIF

Oleh: Yenni Dian Anggraini, S.Pd., M.Pd.


            Paradigma pembelajaran matematika selama ini lebih mengenal jenis soal Close-Ended Question atau soal dengan jawaban tunggal. Tidak hanya soal-soal yang diberikan oleh guru di dalam kelas, tetapi soal-soal dalam buku-buku pelajaranpun banyak menggunakan jenis soal close-ended. Pada materi Statistik untuk tingkat sekolah menengah misalnya, siswa hanya diminta mencari rata-rata, median atau modus suatu data. Perhatikan contoh soal berikut.
Jenis soal 1:
Pendapatan suatu toko asesoris pakaian dalam satu minggu adalah sebagai berikut:
Hari Senin Rp. 5.575.000,-, hari Selasa Rp. 3.050.000,-, hari Rabu Rp. 4.500.000,-, hari Kamis Rp. 2.775.000,-, hari Jum’at Rp. 5.600.000,-, hari Sabtu 6.500.000,- dan hari Minggu Rp. 7.775.000,-.
Pertanyaan: a) berapakah pendapatan terendah dan tertinggi dalam satu minggu? b) berapakah rata-rata pendapatan toko tersebut selama satu minggu? Dengan model soal seperti itu, pada akhirnya mereka hanya memahami bahwa statistik itu hanya berisi rumus-rumus yang banyak, sulit (untuk dihapalkan), dan membosankan. Dalam pemikiran mereka tidak tergambar bahwa statistik merupakan materi yang menarik, menyenangkan, mudah dipahami dan yang terpenting sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah untuk mengganti soal tersebut dengan soal semacam ini.
Jenis soal 2:
Pendapatan suatu toko asesoris pakaian dalam satu minggu adalah sebagai berikut:
Hari Senin Rp. 5.575.000,-, hari Selasa Rp. 3.050.000,-, hari Rabu Rp. 4.500.000,-, hari Kamis Rp. 2.775.000,-, hari Jum’at Rp. 5.600.000,-, hari Sabtu 6.500.000,- dan hari Minggu Rp. 7.775.000,-.
Pertanyaan: a) pada hari apa pendapatan di toko tersebut paling rendah? dan pada hari apa pendapatannya paling tinggi? b) berdasarkan jawaban pada soal (a) menurut Anda apa yang menjadi penyebabnya? c) menurut Anda bagaimana cara menyajikan data yang baik dan benar agar pemilik toko dapat membaca serta menganalisis pendapatannya dalam satu minggu tersebut dengan mudah? Berikanlah penjelasan pada semua jawaban Anda.
            Cobalah bandingkan kedua jenis soal di atas. Tepat! Anda pasti akan merasa lebih menyenangkan dan tertarik untuk menyelesaikan soal jenis kedua. Soal jenis itulah yang dinamakan sebagai soal dengan jawaban  terbuka (tidak tunggal) atau Open-Ended Question. Sebagaimana yang  didefinisikan oleh Wikipedia (2008) tentang Closed-Ended Question dan Open-Ended Question, ialah sebagai berikut:
“A Closed-Ended Question is a form of question, which normally can be answered with a simple "yes/no" dichotomous question, a specific simple piece of information, or a selection from multiple choices (multiple-choice question), if one excludes such non-answer responses as dodging a question, refusing or declaring an inability to answer, etc..”
“An open-ended question is a form of question, opposite to the closed-ended one, which cannot be answered with a simple "yes/no" or a specific piece of information.”
Ada beberapa keuntungan yang diperoleh bagi siswa dan guru apabila digunakan jenis soal open-ended, diantaranya siswa dapat bereksplorasi dengan jawaban mereka, siswa juga dapat menerapkan pemahamannya untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi guru, selain guru dapat menganalisis sampai dimana pemahaman siswa terhadap suatu materi, guru juga dapat mengarahkan dan membantu siswa mengkaitkan pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah dengan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga proses belajar matematika di sekolah akan menjadi lebih bermakna dan menyenangkan.
Pada saat siswa berekplorasi maka siswa akan berusaha mencari berbagai macam alternatif jawaban yang tepat. Proses pencarian alternatif jawaban tersebut membutuhkan tidak saja pemahaman siswa terhadap materi melainkan juga kreativitas siswa. Siswa akan menduga apakah jawabannya sudah benar dan sesuai dengan permasalahan yang ada. Jika jawabannya belum sesuai maka siswa akan menggali lagi informasi yang sudah dimilikinya dan menjawab kembali permasalahan yang ada sampai benar. Yang menarik, siswa tidak hanya diminta menjawab soal, tetapi siswa juga diminta memberikan alasan atau penjelasan terhadap jawaban yang sudah ia peroleh. Proses inipun akan berlangsung dengan melibatkan kreativitas siswa.
Ada beberapa keuntungan dan sedikit kerepotan bagi guru yang menggunakan jenis soal open-ended. Keuntungan yang diperoleh antara lain guru berfungsi sebagai fasilitator dalam menyelesaikan soal karena siswa yang akan aktif mencari alternatif jawaban dan alasannya. Selain itu guru juga akan lebih mengetahui sampai dimana pemahaman siswa terhadap suatu materi, guru juga dapat mengarahkan dan membantu siswa mengkaitkan pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah dengan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain keuntungan tersebut ada sedikit kerepotan yang akan dialami guru ialah proses penilaian terhadap jawaban siswa yang tidak tunggal, yang akan berakibat munculnya banyak jawaban. Guru harus memutuskan mana jawaban dan alasan yang benar, mana jawaban yang benar tetapi alasannya tidak benar, dan mana jawaban dan alasan yang keduanya tidak benar. Untuk model penilaian soal open-ended diberikan alternatif penilaian dengan menggunakan skala Linkert (Metagora, 2008). Untuk itu harus ditetapkan kriteria penilaian berdasarkan skor, contoh penyekoran: skor 0 diberikan untuk jawaban dan alasan yang kedua-duanya salah, skor 1 diberikan untuk jawaban yang benar tetapi alasan salah dan skor 2 diberikan untuk jawaban dan alasan yang kedua-duanya benar. Masih banyak alternatif penilaian lain yang dapat dikembangkan oleh guru untuk menilai jawaban siswa dengan jenis soal open-ended. Untuk itu diperlukan kreativitas guru tidak saja untuk menyusun dan mengembangkan model penilaian, tetapi juga menyusun dan mengembangkan soal-soal open-ended.
Uraian di atas mungkin bukanlah merupakan solusi yang tepat dalam pembelajaran matematika di kelas Anda. Namun begitu semoga uraian tersebut dapat menjadi wacana yang bermanfaat khususnya bagi para guru mata pelajaran matematika dan umumnya bagi guru mata pelajaran lain.



Rabu, 02 Februari 2011

Artikel Bagus: Penyakit Guru


WASPADAI 10 penyakit yang sering menyerang Penyakit memang sering menyerang semua orang tidak terkecuali. Tetapi tahukah anda, penyakit di bawah ini hanya menyerang pada guru saja,tidak pada semua orang pada umumnya.  Nah loo, koq bisa gitu ya..??

Penyakit-penyakit itu antara lain : 
1. KUSTA                                   :          Kurang Strategi
2. TBC                                       :         Tidak Banyak Cara
3. KUDIS                                   :        Kurang Disiplin
4. KERAM                                 :       Kurang Terampil
5. LESU                                     :       Lemah Sumber
6. WTS (agak memalukan ini  ) :     Wawasan Tidak Luas
7.  MUAL                                  :       Mutu Amat Lemah
8. TIFUS                                   :       Tidak Funya Selera mengajar
9. ASAM URAT                        :        Asal susun materi, urutan tidak akurat
10. ASMA                                 :       Asal masuk kelas
Demikian penyakit-penyakit yang harus kita berantas. Bagaimana dengan anda? Apakah mengidap salah satu penyakit di atas??Segera atasi dengan terus meng up- grade diri melalui diklat sukses dan Maju Terus Pendidikan Indonesiaku... 
Salam ,  Permata Hati Education Center Learning